Insyaallah, Santri!











Zaman, Amron, dan Fateh sedang duduk santai di gazebo dekat sawah di suatu perkampungan Jawa Timur, tempat biasa mereka bercanda gurau dan bermain. Zaman sedang bersandar di bagian dalam gazebo. Sepertinya Zaman ingin mengatakan sesuatu yang mengganjal dihatinya. Sedangkan Amron dan Fateh sedang duduk di bagian depan gazebo. Mereka sedang tertawa-tawa dan bahagia sampai akhirnya Zaman berkata yang membuat teman-temannya serius.

“Rek, aku mau cerita, tapi kalian jangan sedih ya.” Zaman sedikit bergurau. “Yo wis, cerita aja. Kira dengerin dengan seksama kok.” Jawab Fateh sedikit serius. “Jadi gini rek, ibuku ingin aku masuk ke pondok pesantren di kota. Sebenernya aku ndak mau. Aku takut tinggal di kota. Mana ada yang mau bermain bersama aku, mereka kan orang-orang kota, sedangkan aku kan hanya anak kampong dari Jawa Timur.” Zaman menghentikan sejenak perkataannya, melihat sepertinya Amron ingin menjawab. “Koe mending disini saja menurutku Zam. Karena ku lihat-lihat abangmu itu ndak bisa diandalkan. Nanti siapa yang merawat ibumu kalau sakit? Dia kan sering keluar rumah, mabuk-mabukan, main judi dan sebagainya. Hanya kamu satu-satunya yang bisa merawat ibumu dengan baik.”

Pendapat Amron membuat gazebo sunyi sejenak. Zaman pun melanjutkan perkataannya. “Begini Ron. Aku tahu itu, abangku itu memang sudah ndak bisa aku andalkan. Tapi aku ndak mau membantah perintah ibuku. Sekarang bapak sudah ndak ada dan abangku satu satunya juga ndak bisa diandalkan. Jadi kalau aku menolak, aku takut melukai hati ibuku.”

Fateh yang dari tadi diam saja akhirnya ikut memberikan suaranya. “Zam. Aku akan manut bersamamu ke pesantren itu. Kau jangan khawatir tidak punya teman. Masalah ibumu, kalau ibumu sudah memerintahkanmu seperti itu, pasti ibmu asudah memikirikan matang-matang. Kan ada Pak Ochid. Pak ochid sangat peduli dengan ibumu. Ibumu juga lumayan pandai menggunakan gawai kan? Dia bisa menghubungi siapa saja ketika butuh. Lagipula…. Ibu dan Ayahku pasti senang aku ke pesantren.” Amron dan Zaman sontak terkejut.

Amron dan Zaman tahu Fateh ingin ikut karena orangtuanya selalu menyayangi adik perempuannya daripada Fateh sendiri. Fateh sering bercerita tentang itu pada mereka. “Nah, bagus itu. Dengan itu Zaman tidak perlu khawatir rentang ibumu dan tidak mendapat teman di kota. Akhirnya aku pun disini sendirian, hahahaha.” Gurau Amron membuat mereka bertiga tertawa lagi.

Azan ashar terdengar. Itu suara Pak Ochid. Merdu sekali. Mereka segera bergegas ke masjid dengan sepeda mereka. Dengan songkok hitam di kepala mereka.

 

……………..

Mereka berpisah ketika keluar dari masjid. Pulang ke rumah masing-masing dengan sepeda.

“Assalamualaikum.” Zaman membuka pintu rumahnya. Zaman tertegun. Melihat Pak Ochid serta istrinya sedang duduk di rumahnya bersama ibu Zaman.

“Waalaikumussalam. Wah, Zaman. Sudah pulang nak? Sudah sembahyang ashar?” Zaman menghampiri ibunya dan mencium tangan ibunya yang basah karena mencuci. Tak lupa Zaman salim kepada Pak Ochid dan Istrinya. “Wes bu. Tadi bareng Amron dan Fateh seperti biasa.” Jawab Zaman jelas. “Duduk di sini nak. Ibu, Pak Ochid, dan Bu Darmi sedang membicarakan kamu masuk ke pesantren.”

Zaman akhirnya duduk dengan perasaan tidak enak. Umur Zaman baru 12 tahun. Menurut Zaman, dia harus sudah bisa mengerti keadaan ini.

“Zaman, kamu tahu ibumu ingin kau masuk pesantren di kota kan?” Zaman menoleh ke Ibunya lalu mengangguk. “Bapak tahu kamu pasti takut tidak punya teman dan jauh dari orangtua. Tapi Zam, kamu harus tahu, Ibumu ingin kau masuk pesantren di kota itu karena Ibumu ingin kau belajar ilmu agama. Tidak seperti abangmu. Coba sekarang lihat, mana dia? Keluar dengan teman-temannya. Entah apa yang dilakukannya.”  Pak Ochid membuka obrolan.

“Ibu ingin kamu menuntun Ibu ke surganya Allah nak. Juga membuat abangmu sadar akan kesalahannya.” Ibu sedikir berkaca-kaca. Zaman memeluk ibunya dan akhirnya Ibu menteskan air matanya. Zaman sekarang sudah bulat. Dia akan masuk pesantren dengan Fateh.

Esoknya Fateh mengabari Zaman kalau dia diperbolehkan masuk pesantren. Ibu Fateh menangis mendengar hal itu. Ternyata Ibu Fateh sangat menyayangi Fateg. Tidak seperti yang Fateh kira. Amron ikut senang mendengar hal itu. Meski dia ditinggal sendiri.

 

……………..

Akhirnya tiba harinya. Hari Fateh dan Zaman meninggalkan tempat tinggalnya untuk 6 tahun. Zaman dan Fateh sudah menyiapkan semua yang harus dibawa. Sekarang mereka mengenakan koko putih, sarung hitam dan songkok hitam.

“Kau sangat mirip bapakmu nak.” Satu lagi pelukan untuk Zaman dari Ibunya. Keduanya menangis. Juga fateh dan orangtuanya.

“Saatnya kita berangkat. Ayo Zam, Tih.” Ucsp Pak Ochid membuat Zaman dan Fateh menoleh satu sama lain. Sama-sama memberi semangat dengan isyarat. Mereka berangkat menggunakan mobil Pak Ochid. Pak Ochid juga yang mengantar mereka. Barang barang mereka yang besar seperti koper, tas, container, dan yang lain di taruh di bagasi mobil. Beberapa makanan mereka bawa di dalam mobil agar tak bosan. Perjalanan dimulai. Mereka melambai lewat kaca terbuka kepada orangtua mereka dan tanah Jawa Timur.

……………..

Dalam perjalanan, Zaman dan Fateh terkesan dengan kota Jakarta. Banyak bangunan modern dan hal-hal yang canggih. Pak Ochid melihat antusias mereka berdua ketika Pak Ochid bercerits banyak tentang kota itu. Mulai dari nama Jakarta. Tadinya adalah Batavia.

Tidak terasa perjalanan 5 jam akhirnya selesai. Zaman dan Fateh sampai dipesantren yang akan dia tinggali selama 6 tahun. Merekaa melihat bangunan hijau yang besar. Beberapa santri berlalu lalang dan beberapa membicarakan mereka berdua.

Zaman dan Fateh bertekad belajar dengan sungguh sungguh. Mereka tidak ingin mengecewakan harapan orangtuanya.

Zaman yang ingin menuntun keluarganya ke surga.

Fateh yang ingin membanggakan kedua orangtuanya.

 

 

 

 

 

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bumi datar / agak bulat ? Menurut aku sih........

PERJALANAN LOMBA DI UIN

Pro dan Kontra memakan makanan yang pedas (lanang, fariz, yusuf, ghata)